29 September 2007


Ada yang indah setiap bulan Ramadhan, menjelang berbuka puasa teman - teman di Biro saya selalu berebutan menyajikan ta'jil (hidangan berbuka). Tidak perduli sedang bokek atau gajian, selalu ada ta'jil dengan jumlah yang lebih dari mencukupi untuk seluruh kru di kantor.

Bukan bermaksud hitungan dagang, mereka percaya dengan memberi ta'jil pada yang berbuka sama dengan mendapatkan pahala seharian yang berpuasa seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW. Matematisnya kalau ada 7 orang yang berbuka dengan hidangan yang disediakan, artinya yang bersangkutan akan mendapatkan 7 nilai pahala puasa. Bayangkan kalau dikali 30, artinya si penyedia ta'jil akan mendapatkan 210 hari pahala puasa atau setara dengan 7 bulan puasa berturut - turut.

Tapi menurut saya, intinya bukan pada kalkulasi pahala yang akan diperoleh. Namun pada nilai kebersamaan dan kepedulian sahabat saya yang mulai dipertajam lagi selama bulan puasa. Ramadhan saatnya berbagi dan memberi, saatnya menikmati sejumlah janji yang kelak akan kita nikmati dan saatnya kembali mengenali betapa RAPUHnya diri kita. Subhanallah indahnya hidup....

"...... Lir Ilir, Lir Ilir Tanduré wis sumilir
Tak ijo royo-royo Tak sengguh pengantèn Anyar

Cah angon....... cah angon Pènekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu pèneken Kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro.........dodotiro Kumitir bedahing pinggir
Dondomono jrumatono Kanggo sebo mengko soré.............."

#lir - ilir : cipt. Sunan Kalijaga#

(Makassar, 280907)

26 September 2007


Aduh udah pepak nih. Rindu banget dengan suasana akademis, debat debat ilmiah, komunitas berfikir yang dengan mudah ditemui disetiap sudut gedung. Kangen mau kuliah lagi, buat memperbesar kapasitas otak.


(makassar, 260907)

22 September 2007


“Bapak mau jadwalnya saya majukan, ada pesawat yang akan terbang sebentar lagi”, sapa petugas boarding. O o tawaran menarik, spontan ku jawab, ”wah boleh juga, masih ngejar gak mas?”, “sebentar lagi boarding pak”…. Alhamdulillah jawab ku dalam hati. Kemurahan Allah yang tidak terduga, padahal seharusnya saya baru bisa terbang satu jam lagi dari pukul 18.10 Wita.

Ramadhan kali ini ini memang fully miracled. Berbagai keajaiban saya rasakan meskipun tidak semuanya dapat dijabarkan dengan kata – kata. Bayangkan dengan segala jerih payah akhirnya komputer untuk Khalil anak pertamaku berhasil di rakit, tali silaturahmi yang sempat terputus puluhan tahun kembali terjalin, hingga kabar gembira menjadi kandidat TBE 2007.

Atau seperti yang saya sempat lakukan kali ini buka puasa di atas ketinggian 25 ribu kaki ketika segalanya terasa dekat dan terasa jauh. Dekat karena seakaan – akan di ketinggian inilah baitullah berada. Dimana benchmark kiblat saya hanyalah kedalaman hati yang merasa keberadaan Tuhan sangat dekat dari titik kehidupan ini. Terasa jauh karena alasan klise, terpisah sementara dari kedua anak dan istri yang sangat berarti padahal Cuma 2 hari lho.

Ramadhan on 25.000 feet berarti juga ketegangan. Bayangkan saya tengah menaiki pesawat jenis Boeing 737 – 200 yang sudah unrecommended for flight. Belum lagi ketika akan take off terdengar bunyi denging cukup lama dan memekakan telinga, meskipun akhirnya bisa juga mendarat dengan sempurna. Pasrah Cuma itu yang bisa saya lakukan, orang bijak bilang “La Takhaf wala Tahzan, Innalaha maa anna..” jangan takut dan jangan bimbang – Allah beserta kita.

(25.000 feet height – 190807 to Jakarta )

11 September 2007


Tuhan terima kasih ada Ramadhan kali ini,
Biarkan aku kembali menikmati kepatuhan manusia bersujud.
Biarkan aku kembali takjub akan manusia menahan laparnya meskipun ujudMu tak Nampak.
Biarkan aku kembali mengenang saat mbah membangunkanku untuk sahur pertama kalinya.

Tuhan terima kasih ada Rindu yang kusapa kali ini.
Izinkanku kembali menikmati kesesakan dunia dalam semalam.
Izinkanku kembali menikmati saat - saat sunyi malam tanpa sedikitpun suara.
Izinkanku kembali menikmati dejavu.

Tuhan izinkan aku... kembali bertemu
(Makassar, 110907 - Habis ikut proses Hisab Rukyah di GTC)




Kegembiraan kerap menyisakan berbagai cerita menarik, seputar manusia yang berada tidak jauh dari radius lokasi kesenangan itu berada. Seperti yang saya saksikan saat pengukuhan gelar Doktor (HC) terhadap Wakil Perdana Mentri Malaysia Dato Muhammad Najib bin Tun Abd. Razak. Ceremonial besar terkait gelar akademis dan hubungan bilateral Indonesia - Malaysia berlangsung di Kampus Universitas Hassanudin - Makassar hari ini (10 Sept. 2007).

Diluar gedung yang penuh riuh rendah pesta pentahbisan tersebut, seorang nenek berjalan tertatih mencari gelas plastik air mineral, yang dibuang para pengunjung. Bagi nek Masi, sampah - sampah plastik tersebut adalah uang yang belum dicairkan. Untuk jerih payahnya, setiap satu kilogram kemasan plastik air mineral dihargai pengumpul sebesar Rp. 2000,- sedangkan untuk satu kilogram kertas bekas apapun akan bernilai Rp.500,-.

Ironis saya katakan, karena ada sejumlah kaum fakir miskin yang hidup dari kerja keras dari sisa - sisa kesenangan itu sendiri. Seperti yang dialami oleh Nenek Masi (75), diusianya yang tebilang senja ini, nenek masi harus menafkahi hidupnya dengan menjadi pemulung dan memungut kertas serta gelas plastik.

Terlihat kecil, remeh, receh dan kotor bagi sebagian orang terutama mungkin bagi sang timbalan dari jiran serta pengunjung acara ini. Namun luar biasa besar nilainya bagi wanita renta yang sangat membutuhkan sampah yang selama ini terbuang begitu saja oleh kita.

Bayangkan untuk mendapatkan satu kilogram gelas plastik (@5 gr) Nenek Masi harus mengumpulkan 200 gelas. Dan terkadang ia harus berjalan kaki puluhan kilometer hanya untuk plastik - plastik tersebut dengan mengabaikan terik matahari serta kaki yang sudah tidak kokoh lagi.

Jika dengan kearifan, kita tidak membuang plastik atau kertas begitu saja karena mengerti ada kehidupan yang bisa bertahan darinya, mungkin sang nenek atau ribuan pemulung renta tidak perlu mengais dan berjalan puluhan kilometer hanya untuk mencari satu dua gelas yang terserak di jalan, di parit atau di tempat pembuangan akhir.

Seandainya saja dengan ketulusan, kita mengajak manusia lanjut usia menikmati sebagian sisa hidupnya dengan kegembiraan, pasti sang nenek tidak perlu kerja keras lagi hanya untuk menyambung hidupnya yang entah kapan akan segera berakhir.

Tapi mungkin saja, bagi Nenek Masi, masa tua tidak harus dinikmati dengan duduk di kursi dan ongkang ongkang kaki. Siapa tahu mencari gelas plastik serta sampah kertas adalah bentuk pengabdiannya pada Tuhan pencipta alam dengan menjaga kebersihan, atau juga baginya hidup adalah karya dan bekerja yang penting halal.
"Nenek Masi... masih ada zakat untukmu...selamatkan kami dari hisab di padang masyar."



(Makassar, 100907)

08 September 2007


Subhanallah, Insya Allah Ramadhan akan segera datang menemui kita yang rela bersua. Orang bijak mengatakan, Ramadhan adalah saatnya berbenah dan mengubah diri menjadi lebih baik lagi. Bahkan jika diibaratkan dengan sebuah games, Ramadhana adalah sesi bonus untuk mengambil poin sebanyak mungkin dengan mudah dan gampang. Bagaimana tidak, bayangkan tidurnya orang berpuasapun dinilai ibadah dan berpahala.

Namun sejak hampir dua dekade ini, puasa tidak mendapatkan pahala semata, melainkan juga fantasi dan hiburan yang semakin memanjakan mata kita. Beraneka tayangan televisi semakin menghibur dan melenakan hingga tak terasa waktu berbuka telah tiba. Akhirnya bukan meraih poin sebanyak mungkin, tapi ngebut secepat mungkin tanpa mengambil satupun bonus yang tersedia di kiri kanan kita...Masya Allah.

Tayangan pun semakin beragam, mulai dari kuis sahur yang berhadiah jutaan rupiah, hingga sinetron yang menampilkan perubahan wajah selebritis kita yang biasanya seronok untuk satu bulan menjadi tertutup jilbab plus wajah cantik yang menggoda, serta jalan cerita yang dipaksakan nyambung dengan suasana ramadhan dan akan berakhir happy ending dimasa lebaran. Semua hiburan tersebut memang sangat membantu, kaum muslimin muslimat meringankan rasa haus dan lapar saat berpuasa terlebih saat musim kemarau seperti saat ini.

Seandainya kita menyadari, semua yang dinikmati di depan layar televisi adalah tontonan kehidupan semu dan kebohongan, tentu kita tidak akan mau dibodohi lagi. Seandainya kita mengerti menyaksikan sinetron ramadhan misalnya, hanyalah menonton peristiwa pertaubatan aktor antagonis dan penderitaan aktor protagonis selama sebulan, mungkin harusya kita sudah bosan melihat tayangan tersebut.

Alangkah baiknya jika kita mengisi dengan yang lebih baik. Saat ini teknologi semakin canggih, murah dan terjangkau, dengan mudah kita bisa mendengarkan MP3 yang berisi pengajian ayat – ayat suci Al Qur’an. Atau sedikit berkontemplasi dengan memperpanjang waktu sholat dan pasca sholat. Mencoba pulang lebih cepat agar bisa berbuka bersama atau sholat berjamaah dengan keluarga.

Ramadhan adalah berkah, berkah bagi siapa saja yang mau mencarinya, baik materi atau ruhani – duniawi atau ukhrowi, termasuk para pemeran sinetron yang terpaksa berubah image entah demi Kebaikan Ramadhan atau Kebaikan Rupiah.

Ramadhan juga berkah bagi Mbok Minah, seorang papa yang hidup sebatang kara di kolong jembatan dimasa tuanya. Serta Berkah bagi George seorang mualaf yang ingin menikmati nuansa tersembunyi dari 30 malam yang tidak pernah diketahui dimana kemuliaan tersebut berada. Juga berkah untuk si Pepeng, penjual kembang api dan petasan jangue yang hanya meriah di saat Ramadhan meskipun dibayang – bayangi ketakutan akan razia, Ramadhan juga kegembiraan sikecil yang berlari – lari saat ratusan jemaah sholat Tarawih (diminggu pertama) memulai ritualnya.

Semoga tanpa kebimbangan atau pemahaman yang salah Insya Allah kita memulai puasa dengan kebaikan. Barakallah Ramadhan…Marhaban ya Karim...


(Makassar, 80907)

07 September 2007


Tak ada angin dan tak ada tanda - tanda, tiba - tiba istriku tersayang nggerutu, " ini Malaysia gimana sih, gak takut kualat sama Indonesia", peristiwa ini yang jarang terjadi dalam 5 tahun pernikahan kami. Rupanya Istriku tengah mengomentari berita tentang jomplangnya hubungan Indonesia dengan Negri Jiran yang tengah tayang di salah satu stasiun TV. Menurut istriku, sudah berapa kali negri ini di zhalimi tetangga sendiri. Mulai dari TKW, sipadan ligitan, perbatasan hingga terakhir aksi PREMAN POLISI MALAYSIA.


Luar biasa memang, istriku yang manis dan penyabar ini sontak menjadi sinis dan marah terhadap sesuatu yang tidak langsung dialaminya. Untung kedua anak kami tengah tidur pulas, sehingga tidak perlu melihat perubahan ekspresi seorang ibu yang lembut menjadi garang.


Sebagai suami yang baik, tentu tugas saya adalah menenangkan kegundahannya dengan sedikit strategi sepertinya mendukung penyataannya. "Tenang aja bu... ntar 20 tahun juga mereka gak ada apa - apanya, yang penting pemerintahan kita berubah dulu".

************************************************************************************

Di Makassar, aksi penolakan terhadap kekerasan polisi malaysia kali ini memang tidak seheboh saat ramainya sengketa pulau ambalat. Mahasiswa di kota ini yang biasanya garang dengan puak melayu, tiba - tiba kaaaleeem tanpa suara yang berarti. Kondisi ini jelas membingungkan kami para jurnalis yang ingin melihat adanya sedikit empati terhadap saudara kita yang dianiaya di Malaysia.


Malaysia lebih maju dari Indonesia memang sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, tapi kekerasan terhadap warga Indonesia, juga tidak bernurani. Sebagai orang Jawa, saya selalu percaya dengan Filosopi masyarakat jawa, hidup itu "cakra manggilingan" artinya kadang di atas kadang di bawah.


Sebagai orang kecil terkadang saya sangat menikmati posisi sebagai terzhalimi, sehingga saat itu menurut Rasulullah SAW tidak ada batas antara saya dengan Tuhan yang akan mengabulkan semua doa saya. Sebagai muslim saya sangat percaya akan hal ini, seandainya saja seluruh rakyat Indonesia saat penzholiman itu terjadi dan mengganti kemarahan dengan Doa, mungkin semua akan berubah dan bisa saja berbalik.


Kemarahan terkadang membuat logika kita tidak berfikir dengan baik. Saat terjadi sengketa Ambalat, Mahasiswa malaysia yang tengah belajar di Universitas Hasanuddin Makassar di razia warga. Padahal seandainya mereka kita berikan pemahaman yang baik tentang Indonesia bukan tidak mungkin dalaam 10 -20 tahun mendatang merekalah pemimpin malaysia yang akan mengubah cara pandang negrinya terhadap Indonesia.


Indonesia dipandang remeh oleh negara tetangga, karena kita sendiri tidak becus mengurus diri. Politisi meributkan kepentingan atas nama rakyat, kekerasan aparat terjadi dimana - mana, pengangguran yang sulit dikendalikan, dll, membuat rasa percaya diri pemimpin negara ini semakin rendah. Bagaimana mau menentang negara lain, kalau negara ini tidak mandiri dan membutuhkan dukungan negara tetangga.


Bagi saya, peristiwa ini adalah pelajaran yang sangat mahal. Karena saat ini kami tengah membesarkan 2 orang anak yang kami harapkan menjadi Manusia terbaik di negri ini. Kekerasan Jiran cukuplah berhenti saat ini saja. Tidak perlu terjadi pada anak - anak kami dan anak - anak negri ini. Dengan segala keyakinan, Indonesia kelak akan menjadi negara terbaik dan lebih maju dari tetangga kita.... Insya Allah


(Makassar, 070907)

06 September 2007


Kehidupan memang selalu mencari pembenaran untuk mengalah atau mengalahkan, paradoks ini berlaku hampir disemua sisi perjalanan manusia sejak lahir sampai terbaring di lahan seluas 2 x 1 meter persegi.

Daeng Nasri, merupakan salah satu aktor figuran dengan tidak nyaman, harus merasakan betapa ironisnya manusia yang membutuhkan makanan untuk bertahan hidup namun harus mengorbankan satu sumber penghidupan lainnya

Setio sore menjelang Nasri termangu membayangkan beberapa petak kebun tomat garapannya di salah satu sudut kota Makassar, harus berubah fungsi menjadi ratusan rumah yang tumbuh dengan gagahnya. Sementara dalam hitungan dua bulan puluhan hektar kebun tetangganya sudah menemui ajalnya lebih dulu berubah wujud menjadi pemukiman RSSSS (Rumah Sangat Sangat Sederhana Sekali), yang memiliki nilai komersil berpuluh - puluh kali lipat saat lahan tersebut belum bertransformasi wujudnya.
Bayangkan, untuk bangunan seluas 21 m2 dengan tanah seluar 60 m2, berharga > Rp.70 juta Cash atau > Rp. 90 Juta (kredit 10 tahun - untuk orang kecil). Padahal lahan tersebut awalnya hanya senilai Rp. 110 ribu per meter persegi alias Rp 6,6 juta untuk 60 m2. Dengan bangunan tipe 21 harusnya tidak melebihi 30 juta rupiah... Bukan main.
Konversi lahan ini, terjadi secara serampangan bukan cuma di Makassar. Tapi hampir diseluruh wilayah republik ini. Tata ruang kota yang telah direncanakan berpuluh tahun sebelumnya berubah drastis dengan alasan kebutuhan pemukiman, pertambahan penduduk dan yang pasti dengan menyembunyikan Faktor Kepentingan pihak penguasa. Akibatnya mudah diduga, daerah pertanian, gunung dan bukit yang juga berperan besar sebagai penyelamat dengan menyerap ribuan bahkan jutaan metrik ton air, akhirnya harus kehilangan "Peran utamanya" sebagai pelindung dari bencana banjir, longsor, kelaparan dan kekeringan.
Daeng Nasri tidak sendiri. Masih banyak petani, penjaga lahan yang bernasib sama. Akibat keterpaksaan atau dipaksa, mereka harus merelakan dengan tragis berubah dari petani menjadi pedagang atau paling apes menjadi pengangguran.
Sebuah evolusi budaya dan kebiasaan, yang tidak pernah mereka bayangkan, akan terjadi dengan hanya menjual sepetak ladang tomat yang selama ini mampu menjadi penyambung hidup.
(Makassar, 050907)

Categories

Pages

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget