13 August 2012

My Twitter : @kabulindrawan


(tulisan yang sama dimuat dalam metrotvnews.com)

"Khalil - Khafi, jangan dimakan !!! Haram !!!...Bayar dulu, baru mencoba" ucapan spontan pada kedua anak saya, membuat beberapa orang disekitar kami terkejut. Peristiwa ini tejadi  beberapa minggu lalu, ketika kami tengah berbelanja di sebuah swalayan. Waktu itu banyak orang mengerumuni sebuah bak yang penuh dengan buah kelengkeng.Teguran saya pada mereka tak ayal, membuat beberapa orang tersenyum dengan ulah si kecil. Namun ada juga yang terkejut, malu, bahkan terkesan marah pada kami.


Lantas beberapa pembeli ada yang memilih lalu memasukkannya kedalam kantung  plastik  untuk dibayar. Namun tidak sedikit pula yang tetap mencicipi, meskipun disana sudah terpampang  tulisan dilarang mencoba.  Sebetulnya apa yang kami lakukan terhadap Khalil maupun si bungsu Khafi bukan soal gaya - gayaan atau sok bersih. Melainkan upaya kami (saya dan istri) menanamkan kejujuran pada anak – anak kami agar membenci kecurangan dan kelicikan sekecil apapun, apalagi terhadap  ”KORUPSI”.


**


Eduard Shevardnadze Mantan menlu Uni Sovyet serta mantan Presiden Georgia pernah mengatakan," Eradicating corruption is not enough to sustain a country".  Shevardnadze benar, pemberantasan korupsi tidak akan pernah cukup mampu untuk mempertahankan Negara. Kenapa? karena pemberantasan hanya berada pada tataran puncak es, bukan akar dari semua permasalahan korupsi.


Lho, lalu dimana hubungan antara mencicipi buah kelengkeng dengan  korupsi ???


Mencoba buah kelengkeng memang hal yang sepele bagi segelintir orang, alasannya pun masuk akal, “tidak ingin membeli buah yang tidak berkualitas”. Tak ada yang salah dengan alasan tersebut, tapi menjadi tidak tepat rasanya jika sudah ada peringatan dari sang pedagang “MOHON TIDAK MENCICIPI” atau “DILARANG MENCOBA”.


Lagi pula, (misalnya) kalau tidak mau rugi atau merasa dibohongi karena membeli buah yang tidak manis  ya tidak usah membeli di tempat tersebut. Beli saja buah yang sama di tempat lain yang memperbolehkan calon pembelinya untuk mencicipi.


***


Ketika sebuah larangan disampaikan, mau mencoba 1 butir atau 1 keranjangpun hukumnya sama –TERLARANG . Terkadang sebagian dari kita melupakan hal sepele mengenai aturan boleh atau tidak boleh. Padahal justru inilah awal dari semua pelajaran yang salah atau teladan yang tidak baik bagi anak – anak. Secara tidak langsung mereka telah melihat contoh menyimpang dari orang yang lebih tua.


Semua malpraktek tersebut tersimpan dalam “subliminal” sang anak.. hingga  membekas dalam otak mereka.  Sampai pada akhirnya kesalahan pun menjadi sesuatu yang umum karena merasa dibenarkan, ada yang ditiru. Tak heran banyak koruptor merasa tidak melakukan kesalahan apapun, kenapa??? karena bagi penjahat seperti ini, korupsi adalah kelaziman yang sudah terbentuk dari  hal yang remeh - temeh semisal mencicipi kelengkeng yang dilarang.


Kesadaran membenci “korupsi” sebenarnya sudah tertanam dibenak masyarakat Indonesia.  Mereka mengutuk, mencaci tak jarang mengharapkan penderitaan untuk tujuh turunan sang koruptor. Namun pada prakteknya terkadang pembiaran justru terjadi pada diri kita sendiri, entah disadari atau tidak. Seperti  hal - hal sepele semisal tidak jujur dengan uang kembalian karena hanya recehan  Rp 100, Rp 200 atau Rp 300,- mencicipi 1 atau 2 buah kelengkeng yang sebetulnya terlarang hingga mengurangi takaran timbangan.


Contoh kongkrit betapa hal sepele miliki daya rusak dashyat adalah,  banyaknya warung kejujuran yang didirikan di berbagai tempat di Indonesia mulai dari SD, SMP, SMU bahkan di Institusi pemerintahan “GAGAL TOTAL” alias merugi. Masalahnya jelas, satu orang mengambil sedikit jajanan atau tidak membayar tanpa merasa bersalah. Padahal cara yang sama juga dilakukan banyak rekan – rekannya, akibatnya adalah “KEBANGKRUTAN”.


****


Apa yang saya terapkan pada anak – anak kami adalah bentuk lain, membangun alam bawah sadar (subliminal) mereka agar terbiasa menolak setiap kesempatan melakukan kecurangan atau korupsi sejak dini. Menurut penelitian  Rosnick et al  (1992)  dalam penelitiannya  “Subliminal Conditioning of Attitudes”  menyebutkan hasil  pemetaaan pada otak manusia menunjukkan bahwa rangsangan subliminal  yang konsisten berupa teguran atau nyanyian akan mengaktifkan daerah tertentu pada otak manusia meskipun tidak disadari.


Jadi, dengan membiasakan melarang anak – anak untuk tidak mengkonsumsi yang bukan menjadi haknya atau mengambil sesuatu yang tidak diperbolehkan, secara tidak langsung kita sudah menanamkan sesuatu yang benar ke dalam alam bawah sadar mereka. Semoga saja semua bisa terimplementasikan secara utuh dan baik ketika mereka beranjak dewasa.


Saya teringat dengan kisah seorang kakek yang tengah sekarat dan menyesal karena gagal memenuhi ambisinya membersihkan negaranya dari koruptor. Ia bahkan gagal membina keluarga dan membimbing anak - anaknya yang ternyata juga menjadi koruptor.


Di akhir hayatnya sang kakek berujar, "seandainya saya memulai perubahan dari diri sendiri, kemudian anak – anakku, istri dan keluarga besar, mungkin saja caraku akan dicontoh tetangga, lalu ditiru oleh lingkungan, akhirnya menular pada  masyarakat". Sayangnya penyesalan tinggallah penyesalan dan akhirnya tidak menghasilkan apapun.

Categories

Pages

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget