24 September 2012

My Twitter : @kabulindrawan

Kali ini saya tidak akan banyak menulis, karena gambar yang ingin saya tunjukkan sudah lebih banyak berbicara mengenai Presiden Iran Ahmadinejad yang berhaji dan hanya menggunakan mobil bak terbuka. Satu hal yang saya ingin katakan "DICARI PEMIMPIN YANG BERSAHAJA"







13 August 2012

My Twitter : @kabulindrawan


(tulisan yang sama dimuat dalam metrotvnews.com)

"Khalil - Khafi, jangan dimakan !!! Haram !!!...Bayar dulu, baru mencoba" ucapan spontan pada kedua anak saya, membuat beberapa orang disekitar kami terkejut. Peristiwa ini tejadi  beberapa minggu lalu, ketika kami tengah berbelanja di sebuah swalayan. Waktu itu banyak orang mengerumuni sebuah bak yang penuh dengan buah kelengkeng.Teguran saya pada mereka tak ayal, membuat beberapa orang tersenyum dengan ulah si kecil. Namun ada juga yang terkejut, malu, bahkan terkesan marah pada kami.


Lantas beberapa pembeli ada yang memilih lalu memasukkannya kedalam kantung  plastik  untuk dibayar. Namun tidak sedikit pula yang tetap mencicipi, meskipun disana sudah terpampang  tulisan dilarang mencoba.  Sebetulnya apa yang kami lakukan terhadap Khalil maupun si bungsu Khafi bukan soal gaya - gayaan atau sok bersih. Melainkan upaya kami (saya dan istri) menanamkan kejujuran pada anak – anak kami agar membenci kecurangan dan kelicikan sekecil apapun, apalagi terhadap  ”KORUPSI”.


**


Eduard Shevardnadze Mantan menlu Uni Sovyet serta mantan Presiden Georgia pernah mengatakan," Eradicating corruption is not enough to sustain a country".  Shevardnadze benar, pemberantasan korupsi tidak akan pernah cukup mampu untuk mempertahankan Negara. Kenapa? karena pemberantasan hanya berada pada tataran puncak es, bukan akar dari semua permasalahan korupsi.


Lho, lalu dimana hubungan antara mencicipi buah kelengkeng dengan  korupsi ???


Mencoba buah kelengkeng memang hal yang sepele bagi segelintir orang, alasannya pun masuk akal, “tidak ingin membeli buah yang tidak berkualitas”. Tak ada yang salah dengan alasan tersebut, tapi menjadi tidak tepat rasanya jika sudah ada peringatan dari sang pedagang “MOHON TIDAK MENCICIPI” atau “DILARANG MENCOBA”.


Lagi pula, (misalnya) kalau tidak mau rugi atau merasa dibohongi karena membeli buah yang tidak manis  ya tidak usah membeli di tempat tersebut. Beli saja buah yang sama di tempat lain yang memperbolehkan calon pembelinya untuk mencicipi.


***


Ketika sebuah larangan disampaikan, mau mencoba 1 butir atau 1 keranjangpun hukumnya sama –TERLARANG . Terkadang sebagian dari kita melupakan hal sepele mengenai aturan boleh atau tidak boleh. Padahal justru inilah awal dari semua pelajaran yang salah atau teladan yang tidak baik bagi anak – anak. Secara tidak langsung mereka telah melihat contoh menyimpang dari orang yang lebih tua.


Semua malpraktek tersebut tersimpan dalam “subliminal” sang anak.. hingga  membekas dalam otak mereka.  Sampai pada akhirnya kesalahan pun menjadi sesuatu yang umum karena merasa dibenarkan, ada yang ditiru. Tak heran banyak koruptor merasa tidak melakukan kesalahan apapun, kenapa??? karena bagi penjahat seperti ini, korupsi adalah kelaziman yang sudah terbentuk dari  hal yang remeh - temeh semisal mencicipi kelengkeng yang dilarang.


Kesadaran membenci “korupsi” sebenarnya sudah tertanam dibenak masyarakat Indonesia.  Mereka mengutuk, mencaci tak jarang mengharapkan penderitaan untuk tujuh turunan sang koruptor. Namun pada prakteknya terkadang pembiaran justru terjadi pada diri kita sendiri, entah disadari atau tidak. Seperti  hal - hal sepele semisal tidak jujur dengan uang kembalian karena hanya recehan  Rp 100, Rp 200 atau Rp 300,- mencicipi 1 atau 2 buah kelengkeng yang sebetulnya terlarang hingga mengurangi takaran timbangan.


Contoh kongkrit betapa hal sepele miliki daya rusak dashyat adalah,  banyaknya warung kejujuran yang didirikan di berbagai tempat di Indonesia mulai dari SD, SMP, SMU bahkan di Institusi pemerintahan “GAGAL TOTAL” alias merugi. Masalahnya jelas, satu orang mengambil sedikit jajanan atau tidak membayar tanpa merasa bersalah. Padahal cara yang sama juga dilakukan banyak rekan – rekannya, akibatnya adalah “KEBANGKRUTAN”.


****


Apa yang saya terapkan pada anak – anak kami adalah bentuk lain, membangun alam bawah sadar (subliminal) mereka agar terbiasa menolak setiap kesempatan melakukan kecurangan atau korupsi sejak dini. Menurut penelitian  Rosnick et al  (1992)  dalam penelitiannya  “Subliminal Conditioning of Attitudes”  menyebutkan hasil  pemetaaan pada otak manusia menunjukkan bahwa rangsangan subliminal  yang konsisten berupa teguran atau nyanyian akan mengaktifkan daerah tertentu pada otak manusia meskipun tidak disadari.


Jadi, dengan membiasakan melarang anak – anak untuk tidak mengkonsumsi yang bukan menjadi haknya atau mengambil sesuatu yang tidak diperbolehkan, secara tidak langsung kita sudah menanamkan sesuatu yang benar ke dalam alam bawah sadar mereka. Semoga saja semua bisa terimplementasikan secara utuh dan baik ketika mereka beranjak dewasa.


Saya teringat dengan kisah seorang kakek yang tengah sekarat dan menyesal karena gagal memenuhi ambisinya membersihkan negaranya dari koruptor. Ia bahkan gagal membina keluarga dan membimbing anak - anaknya yang ternyata juga menjadi koruptor.


Di akhir hayatnya sang kakek berujar, "seandainya saya memulai perubahan dari diri sendiri, kemudian anak – anakku, istri dan keluarga besar, mungkin saja caraku akan dicontoh tetangga, lalu ditiru oleh lingkungan, akhirnya menular pada  masyarakat". Sayangnya penyesalan tinggallah penyesalan dan akhirnya tidak menghasilkan apapun.

19 April 2012

My Twitter : @kabulindrawan




Kepanikan warga akibat gempa Aceh 11 April 2012, membuat saya teringat kembali akan peristiwa 8 tahun lalu. Dede Mirwanda, saya tidak pernah lupa ketika menemukan anak ajaib ini disebuah tempat yang sama dengan nama saya “Kabul” di Deli serdang, Sumatera Utara. Cerita ini merupakan sequel dari penugasan saya sebagai FP dalam tragedi “Indonesia Menangis” – gempa tsunami Aceh 2004.

Senin siang 3 Januari 2004, sebuah perintah datang dari Jakarta. Saya diminta mencari seorang anak yang bernama “Dede Mirwanda” di Sumatera Utara. Tidak banyak petunjuk yang bisa membimbing saya kepada anak ini, selain dede adalah anak angkat Presiden yang menolak diajak ke Jakarta serta ia sudah diterbangkan ke Medan - Sumatera Utara.

Selanjutnya menjadi tugas saya untuk mencari anak istimewa ini diantara jutaan warga Aceh yang menyelamatkan diri ke Sumatera Utara. Wahhhh.... bagaimana caranya mendapatkan anak ini ? jangan kan data lengkap, wajahnya pun belum pernah saya lihat.

****

Langkah pertama saya dan rekan – rekan biro Medan, adalah mendatangi seluruh institusi resmi dan tidak resmi yang menangani para pengungsi Aceh. Semua menjawab dengan makna yang sama meski dengan kalimat berbeda seperti, “maaf dik tidak tahu” atau, ” tidak ada dalam data base kami” hingga yang menyenangkan hati, “ oke kalau dapat, nanti kami kabari”. Meski demikian saya tidak boleh putus asa, saya tetap meninggalkan nomor telepon dengan harapan jika sewaktu – waktu ada yang mengetahui keberadaan anak tersebut.

Seketika saya ingat, doa orang puasa pasti diijabah Tuhan sehingga saya memohon segala kemurahanNya dari segala informasi yang tersembunyi. Keajaiban itu datang, sekitar pukul 4 sore saya menerima sebuah telepon dari orang yang tidak dikenal. Ia mengatakan, “Dede Mirwanda ada di Batang kuis Deli Serdang, di rumah lurah Nuraini”.... belum sempat saya mengucapkan terima kasih, telepon sudah terputus.

 Tanpa pikir panjang, kami langsung menuju lokasi yang dimaksud. Pengalaman lucu pun terjadi, beberapa kali saya bertanya dimana rumah lurah Nuraini pada warga Batang kuis. Jawabnya, “Gang Kabul...”  sempat saya berprasangka mereka mengolok – olok saya karena Id card yang tergantung dileher dengan jelas tertulis nama saya “Kabul Indrawan”.

****


Sekitar pukul 6:30 an sore saya sampai ketempat yang dituju dan ternyata disana terdapat sebuah papan petunjuk “Jln Kel. Kabul” atau Jalan keluarga Kabul. “Wah, kejutan saya menemui anak yang hilang dalam gang saya sendiri”, pikirku.

Dede memang ditampung oleh keluarga lurah Nuraini yang baik hati. Ibu Nuraini sendiri tidak pernah menduga kalau Dede Mirwanda ternyata adalah anak angkat Presiden. Ia juga tidak pernah mengharapkan menjadi popular dengan mengangkat anak yatim piatu korban bencana Tsunami Aceh, yang ada dibenaknya adalah kemanusiaan atas nama sesama makhluk Tuhan.

Pertemuan dengan Dede, mengakhiri perjalanan panjang kami seharian, mencari satu pengungsi anak yang istimewa diantara jutaan pengungsi lainnya. Peristiwa ini pun terjadi bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib, Dede seakan menjadi pelepas dahaga dan ta’jil terindah dari semua shaum sunnah yang pernah saya jalani ketika itu.

20 March 2012

My Twitter : @kabulindrawan


“Economics explains almost everything”, kalimat ini terlontar dari Robert Frank seorang profesor ilmu ekonomi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Frank memiliki alasan mengapa ilmu ekonomi bisa menjelaskan berbagai hal, terlebih ia sangat mendalami behaviour economics

Tetapi saya tidak ingin bercerita mengenai behaviour economics dengan segala kompleksitasnya. Melainkan kesederhanaan bagaimana sebuah ilmu ekonomi mampu menjelaskan “hampir” segala sesuatu yang terjadi di atas muka bumi ini yang ternyata sarat dengan motif ekonomi tak ubahnya puzzle – puzzle ekonomi.

Misalnya saja kenapa seorang bayi berusia 1 tahun yang duduk di kursi mobil harus menggunakan safety belt, bahkan beberapa diantaranya memakai kursi khusus bayi? sedangkan jika bayi dengan usia yang sama naik pesawat terbang, kita tidak akan mendapatkan kursi khusus bayi dengan sabuk pengaman. Tak jarang  hanya diberikan semacam ikat pinggang sebagai pengganti sabuk pengaman.

Jawabnya bisa berbagai macam mulai dari ketiadaan tempat di pesawat, akan menambah beban pesawat atau bahkan yang lebih ekstrim pesawat tidak di disain untuk menerima penumpang bayi. Tidak ada yang salah dengan semua ini, namun economic puzzles justru akan memberikan sudut pandang yang berbeda.

Alasan beda perlakuan terhadap bayi usia 1 tahun ini terjadi karena angka kecelakaan mobil jauh lebih tinggi yaitu 1 kejadian dari 10.000 kendaraan. Sedangkan kecelakaan pesawat hanya 1 kejadian dari 3.000.000 penerbangan. Atau dengan kata lain, naik pesawat jauh lebih aman ketimbang naik mobil.

Sehingga  banyak maskapai penerbangan tidak menyediakan kursi khusus bayi lengkap dengan seatbelt. Apalagi biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan kursi bayi dalam sebuah pesawat cukup mahal. Selain itu, orang tua umumnya  lebih memilih bayi usia 1 tahun sebagai kategori penumpang tambahan, karena dibeberapa maskapai hanya dikenakan biaya 10% dari harga tiket dewasa.

Kasus bayi dengan sabuk pengaman di pesawat dan di mobil, hanyalah satu dari sedemikian banyak masalah keseharian yang sebenarnya sarat dengan motif ekonomi serta sangat menarik dicermati dengan bahasa yang sederhana tanpa harus melibatkan persamaan – persamaan rumit ala ilmu 

Seperti halnya apa hubungan antara musik rock atau heavy metal dengan ekonomi ? mengapa harga tiket pesawat Medan – Meulaboh lebih mahal dibandingkan harga tiket pesawat Jakarta – Singapore yang jaraknya lebih jauh, atau kenapa tombol ATM selalu dilengkapi dengan huruf braille? serta masih banyak lagi.

INILAH HIDUP... SEMUA ADALAH PUZZLES... ATAU LEBIH TEPATNYA ECONOMIC PUZZLES

Categories

Pages

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget