27 December 2006



Tidak terasa sudah 2 tahun saya tidak mengunjungi Aceh, sejak Operasi Militer (2003), dan Tsunami (2004), menewaskan lebih dari 120 ribu orang - termasuk diantaranya anak dan istri rekan kuliah ku Purwana Satria.

Secara Fisik memang sudah banyak yang berubah dibandingkan 4 tahun lalu, tidak ada lagi mayat yang tergeletak di sepanjang ruas jalan, tidak ada bau tak sedap menyeruak, namun masih terlihat kepedihan di wajah warga aceh. Terutama saat 26 Desember lalu yang menjadi peringatan 2 tahun pasca tsunami.

Tidak hanya itu, masalah baru pun banyak bermunculan. Terlihat dengan jelas bagaimana tamaknya masyarakat kita melahap bantuan yang bukan haknya. Bayangkan, banyak orang kaya baru karena mendapatkan rumah baru yang jumlahnya lebih dari satu. Padahal itu rumah bantuan dari BRR, lucunya BRR juga tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap penyelewengan macam ini.

Keadaan ini menggigit naluri bawah sadar untuk mencari tahu apa yang salah dengan mekanisme pembagian rumah ini. Selidik punya selidik, rupanya banyak warga terutama oknum keuchik dan keluarganya memecah Tanah yang dimilikinya menjadi 2 sertifikat. Terang aja mereka pasti akan punya rumah karena 1 sertifikat lazimnya dapat 1 rumah.

Kasihan juga anak yatim yang gak dapat apa apa, kalau sudah begini saya jadi ingat ucapan sahabat ku, Indonesia Swalayan Bencana mulai dari alam sampai moral, naudzu billah...

(Banda Atjeh, 26 Desember 2006)

27 May 2006


"konichiwa, watashi no indonesia jin kabul indrawan desu. douzo yorushiku onengaishimasu," "haik watashiwa morita desu, yorushiku onengaishimasu. Anatawa shigoto nan desuka" "watashiwa metrotv no shimbunkisha desu" " aa so desu, watashimo shimbunkhisa desu" wahh akhirnya meskipun dengan bahasa asal bisa juga saya bercakap – cakap dengan morita salah seorang warga Jepang yang saya temui disela - sela seminar THE FUTURE OF ASIA di Tokyo.
Menariknya Morita rupanya juga seorang jurnalis dari sebuah media cetak ternama di Jepang. Dari percakapan basa basi singkat itulah akhirnya kami bertukar pengalaman dan cerita tentang berbagai peliputan yang pernah masing - masing kita lalui.
Morita sempat mengungkapkan kekagumannya terhadap jurnalis Indonesia yang cukup berani meliput didaerah konflik. Sebaliknya saya juga memuji mereka tak kalah hebat dalam pemberitaan yang kerap mampu menjungkalkan rezim yang berkuasa.
Tidak hanya itu, saya juga sempat bertukar pikiran bagaimana kreatifnya pertelevisian Jepang, dengan program program yang cukup edukatif dan cerdas. Rupanya menurut morita san, masyarakat Jepang cukup jenuh dengan informasi perang, chaos, pencemaran lingkungan dll yang membuat mata dan otak lelah. Program program kreatif yang melibatkan kepesertaan masyarakat awam justru sangat digemari. Alangkah bertolak belakang kondisi pertelevisian Indonesia yang sering menyajikan mimpi dan ilusi yang membodohkan demi sebuah rating yang sangat absurd.
"arigato gozaimashita morita san, to moushimasu"
(Tokyo, 26 Mei 2006)

11 March 2006



(Tulisan saya selengkapnya dapat anda temui di harian Tribun Timur 2 Maret 2006)

Hujan lebat yang mengguyur kota Makassar kota Makassar akhir – akhir ini cukup mengkhawatirkan. Bahkan Badan Metereologi sudah mengklasifikasikan sebagai hujan super lebat dan tercatat di stasiun BMG mencapai 184 mm (tribun timur 1/3/06)

Korelasi negatif dari hujan lebat tentu adalah banjir yang mengenangi sebagian kota Makassar, Gowa dan sekitarnya. Lihat saja banjir telah menelan korban 2 orang anak tewas karena hanyut terseret arus kanal dan selokan.

Sebagian akitivitas perkotaan pun lumpuh akibat perkantoran terendam banjir, dan beberapa ruas jalan tergenang air hingga setinggi setengah meter.

Meski demikian ada sisi baiknya juga banjir yang melanda kota makassar, ternyata juga merendam rumah 2 anggota DPRD kota makassar, yang akhirnya merencanakan akan memanggil dinas Pekerjaan Umum untuk menjelaskan kondisi ini. (tribun 28/2/06)

Namun dari semua kekhawatiran tersebut yang sangat mencemaskan adalah kondisi Lumpur di lereng gunung Bawakaraeng yang siap meluncur dan bisa saja meluluh lantakkan isi sebagian kota Makassar, gowa dan sekitarnya.

Jika longsor itu terjadi, bukan tidak mungkin akan menelan banyak korban jiwa akibat terseret arus dan tertimbun material longsoran, yang tanpa permisi menyerang kota di waktu siang atau malam hari…. Menakutkan

KONDISI SEKITAR BAWAKARAENG

Saya memiliki Gambar udara yang dengan jelas memperlihatkan adanya tumpukan material longsoran yang basah dan berwarna coklat tua, sepanjang lebih dari 10 kilometer dengan Lebar 1 – 3 kilometer.

Bahkan menurut prediksi sejumlah pakar geologi kedalaman lumpur bawakaraeng di duga mencapai lebih dari 200 meter serta dalam kondisi yang labil. Dimana bagian dasar dari endapan longsoran ini masih basah dan menyimpan air seperti Spons.

Dengan angka minimal di atas saja sudah dapat diduga berapa banyak material yang akan meluluh lantakkan kota Makassar, Gowa dan sekitarnya, lebih dari 2 milyar meter kubik longsoran dan air kemungkinan akan menimbun kota ini.

Artinya, kemampuan Waduk Bili – Bili yang konon mampu menampung air sebesar 152,3 juta meter kubik air tiada artinya jika harus berhadapan dengan material seperti tanah dan batu gunung sebanyak 2 milyar meter kubik.

Pemandangan terakhir disekitar lokasi bencana juga menunjukkan betapa labilnya kawasan disekitar longsoran. Seperti kecamatan parang loe, bontomarannu banyak jalan yang terkikis akibat hantaman air bercampur batu, serta Ratusan hektar sawah yang terendam Lumpur.

Sejauh ini, saya tidak mengetahui apa langkah kongkrit yang telah dilakukan Pemkab Gowa dan Makassar, jika kedatangan tamu Musibah ini. Padahal Longsoran ini dapat menerjang kapan saja baik siang ataupun malam hari, ketika kita semua terlelap tidur.

Sama halnya dengan saya, Banyak Warga yang tidak tahu harus mengungsi kemana, bagaimana prosedur evakuasi, dengan apa mereka mengungsi, apalagi perigatan dini bencana ini telah datang.

Bisa saja saat bencana tiba, kemudian masyarakat berbondong – bondong menyelamatkan diri dengan kendaraan yang ada, dan akibatnya justru menimbulkan kemacetan, yang berakhir dengan Terjebak dalam perjalanan.

Tidak ada sosialisasi yang baik dari pemerintah setempat kepada warga kota. Sehingga terkesan Bom Waktu ini menjadi sebuah misteri dan hanya di cukup di ketahui segelintir orang.

Terbayanglah kerusakan serta kuburan Massal warga yang tidak sempat menyelamatkan diri. Lebih mengerikan lagi bencana ini mungkin tidak turun pada puncak musim penghujan, yang artinya ada kemungkinan Bencana justru datang saat warga merasa aman di musim kemarau.
Tanpa ber su’udzon cukup menggelitik untuk menjadi sebuah pertanyaan besar “Apakah kemungkinan terjadinya bencana ini sengaja dirahasiakan agar tidak menimbulkan kepanikan? Atau Pemerintah Propinsi, kabupaten dan kota tidak peduli?” Walahu alam.
(Makassar, 2 Maret 2006)
------------------------

Categories

Pages

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget